Kamis, 24 Mei 2012

Lesson #4.3. Experience Has A Structure

Seperti telah didiskusikan sebelumnya, bahwa pengalaman masa lalu yang disimpan menjadi memori sangat mempengaruhi perilaku kita saat ini. Seseorang yang takut ketinggian, bisa jadi masa lalulnya pernah mengalami trauma terkait dengan ketinggian, misalnya terjatuh atau peristiwa lain yang dimaknai secara berlebihan bahwa ketinggian itu sangat membahayakan.

Seorang yang takut kecoa bisa jadi ketika waktu kecil dia pernah mengalami peristiwa melihat kecoa yang tiba-tiba terbang dan hinggap di wajah tepat di pelupuk matanya. Pada saat yg sama Ibunya berteriak dan mengusir kecoa itu dengan panik hingga tangannya mengenai wajah anaknya yang mungil itu hingga ananknya kesakitan sekaligus ketakutan. Memori ini terbawa hingga dewasa dan dia menderita pobia kecoa.

Begitulah pengalaman masa lalu sangat mempengaruhi perilaku.
Bukan hanya ketinggian dan kecoa, tetapi dalam kehidupan yang lebih luas juga. Ketika kita benci pada pejabat misalnya, atau kita tidak suka orang sukses, adalah akibat kejadian masa lalu yang tidak menyenangkan terkait dengan pejabat dan orang sukses. Dampaknya jika kita tidak menyukai orang sukses, bukan tidak mungkin kita juga tidak mau menjadi sukses karena kita tidak ingin sama seperti mereka yang tidak kita sukai itu. Hal ini tentu sangat tidak menguntungkan.

NLP menemukan bahwa pengalaman masa lalu ternyata memiliki struktur yang ketika struktur itu dirubah maka emosinyapun ikut berubah sehingga pengaruhnya terhadap perilaku juga berubah. Inilah yang kemudian menjadi temuan baru dalam dunia terapi phobia dan teknik cepat merubah perilaku.

Struktur pengalaman itu terdiri dari  gambar (bisa bergerak atau diam), suara, tekstur, rasa, dan bau yang sering disebut modality. Disamping modality struktur pengalaman juga mengandung  emosi atau sensasi. Setiap pengalaman disimpan dalam struktur modality yang unik dan menghasilkan emosi yang unik juga. Emosi itulah yang kemudian menggerakkan tubuh kita. Misalnya pengalaman dihinggapi kecoa menyebabkan kita menggambarkan kecoa dengan gambaran yang unik sedemikian sehingga menghasilkan emosi menjijikkan atau menakutkan. Emosi itu menggerakkan kita untuk menghindari kecoa.

Dari pengalaman terapi terhadap seorang anak yang takut kecoa, ketika diminta membayangkan kecoa namun sudah dicat berwarna pink ternyata bisa mengurangi rasa jijiknya terhadap kecoa, bahkan akhirnya anak itu berani memegangnya. Dalam hal ini modality yang rubah adalah visual.
Ketika kita tidak suka bertemu dengan seseorang, biasanya kita sering membayangkan dia dengan menempelkan sesuatu yang buruk padanya, misalnya kata2nya pedas. Lakukanlah perubahan strukturnya misalnya dengan mencari kebaikannya. Oo ternyata dia suka mentraktir, misalnya. Nah tempelkanlah sifat suka mentraktir ini setiap anda mengingatnya. Bayangkan sesering mungkin dia dengan sifat baiknya yang baru anda tempelkan. Pasti sensasinya berubah sekarang, dia terlihat lebih menyenangkan bukan? Agar lebih sempurna hasilnya, rubahlah sedikit makna tentang "berkata2 pedas" itu memang sifatnya, dan itu berlaku pada semua temannya, bukan hanya pada saya, jadi tidak ada alasan saya tidak suka.

Contoh lain, buatlah sebuah percobaan, bayangkanlah sesuatu yang anda sukai, misalnya anda suka makan apel. Kemudian bersama dengan itu putar (dalam pikiran anda) sebuah lagu yang anda sangat benci. Sedemikian bencinya dengan lagu itu hingga setiap keluar ditayangan TV anda langsung mematikan TV itu. Sekarang bayangkan anda makan apel dan lalu segera putar lagu tersebut. Meski anda jengkel, putar terus sambil merasakan kejengkelan dan sambil makan apel. Baik, ulangi sekali lagi. Makan Apel dan putar lagunya. OK, cukup.

Yang anda lakukan adalah Anda sedang merubah pengalaman asyiknya makan apel dengan menambahkan modality auditory berupa musik. Sekarang bayangkan lagi anda makan Apel, bagaimana rasanya? Masih menyenangkan? Biasanya anda menjadi berkurang seleranya tidak senikmat makan apel seperti sebelumnya.

Cara itu semakin efektif ketika musik yang anda putar jauh lebih anda benci daripada nikmatnya makan apel. Jika masih kurang efektif anda bisa menambahkan lagi modality lainnya, misalnya anda membayangkan makan apel, disamping diputarkan lagu yang menjengkelkan, tambahkan juga dengan membayangkan sesuatu yang anda benci misalnya bau karbol, atau bau WC, maaf.
Lakukan berkali-kali, bayangkan makan apel, putar lagu yang anda benci, dan tiupkan angin berbau WC. Demikian seterusnya hingga makan apel menjadi sebuah kegiatan yang ketika dibayangkan sangat tidak menyenagkan. Dan lihat hasilnya, ketika melihat apel anda menjadi sangat tidak selera.

Teknik yang sama bisa dipakai untuk merubah perilaku yang lain, untuk berhenti dari perilaku buruk atau untuk lebih semangat dengan perilaku baik yang anda inginkan. Sangat bermanfaat bukan? Pengolahan struktur pengalaman ini menjadi salah satu bahan penting dalam berbagai teknik terapi dalam NLP. Lebih dalam tentang Modality akan didiskusikan dalam bab "Sub Modality"

Pengalaman memiliki struktur dan ketika strukturnya dirubah sensasinya pun berubah. Presupposition yang kerren bukan?

Rabu, 16 Mei 2012

Lesson #4.2. Everyone Lives in Their Own Unique Model of The World

Masih terkait dengan "the map is not the territory", sekarang kita diskusikan bahwa setiap manusia hidup dengan mapnya masing-masing. Ketika kita bertindak atau bersikap, sesungguhnya kita bukan sedang menyikapi kejadian tetapi menyikapi map kita sensiri. Waspadalah, ketika kita menghindari seseorang karena ia membenci kita, sesungguhnya bukanlah disebabkan karena ia benar2 membenci kita. Tetapi karena persepsi kita sendiri, bisa jadi benar bisa jadi salah, jika benar pun tidak 100 persen sama bisa lebih bisa kurang.

Setiap orang hidup dalam dunia mereka masing-masing yang unik. Tidak ada seorangpun memiliki keyakinan, nilai-nilai dan perliaku yang persis sama satu dengan lainnya, karena mereka hidup dalam latar belakang yang berbeda. Tidak seorangpun memiliki pemahaman yang persisi sama meski diajar oleh guru yang sama di kelas yang sama. Dan mereka bersikap sesuai pemahamannya masing-masing.

Mendiskusikan hal ini saya teringat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) waktu itu, mungkin sekarang PPKN ya?  Suatu ketika ada ulangan harian, salah satu soal pertanyaannya berbunyi:

“Ketika kamu melihat ada orang naik sepeda motor terjatuh apa yang kamu lakukan?”.

Sahabat, bayangkan ketika soal tersebut dilemparkan kepada anak-anak usia SD, apa kira2 jawabannya? Anda bisa membayangkan pasti jawabannya beragam bukan misalnya:
-          Menolong
-          Mencari bantuan
-          Berteriak minta tolong orang yang lewat
-          Melarikan diri, karena takut dituduh dan dipersalahkan
-          Memberitahu keluarganya
-          Tertawa dan mengejek

Sungguh tidak adil jika kondisi anak yang berbeda-beda, persepsi tentang situasi kecelakaan yang berbeda,  kemudian diharuskan memberi jawaban yang seragam. Tentu jawabannya bisa sangat beragam dengan alasannya masing-masing. Tetapi sedihnya waktu itu guru sudah punya kunci jawabannya, kalau tidak sama dengan kunci jawaban itu maka jawaban kita dianggap salah.

Bagaimana menurut sahabat, apakah guru itu benar atau memaksakan kehendaknya? Cara mendidik seperti ini sungguh tidak menguntungkan anak, membelenggu kreatifitas anak sehingga tidak kaya solusi dan tidak kreatif.

Contoh lain, “Bayangkan suatu ketika anda hadir di ajang kompetisi Indonesioan Idol, pada saat yang menegangkan akhirnya diumumkan satu orang keluar sebagai pemenang. Bagaimana perasaan anda saat melihat kejadian itu?”
-          Senanng
-          Kagum
-          Terharu
-          Bangga
-          Sedih
-          Biasa-biasa saja
-          Terinspirasi
-          Cemburu
-          Benci

Tentu anda senang jika pemenangnya adalah saudara anda yang anda cintai, dan sebaliknya anda sedih jika pemenangnya orang lain dan saudara anda kalah. Atau mungkin cemburu, karena anda sendiri ikut jadi peserta dan yang menang adalah pesaing anda. Atau mungkin benci, karena kebetulan pemenangnya itu orangnya sombong dan suka menghina temannya. Semua orang yang hadir mengungkapkan perasaan sesuai dengan dunianya masing2.  

Begitulah dalam kehidupan ini setiap orang punya caranya masing-masing dalam menyikapi sebuah permasalahan sesuai dengan map-nya saat itu. Ingat tentang “the map is not the territory”, bahwa persepsi kita tidaklah sama dengan kejadian yang seungguhnya, hal itu disebabkan karena adanya filter-filter kondisi sesorang pada saat itu, belief, values, pengalaman masa lalu, kondisi emosi, waktu dan ruang yang tersedia, materi dan keuangan yang tersedia saat itu, juga kebiasaan-kebiasaan dalam bersikap, kebiasaan dalam mengambil keputusan, kebiasaan dalam menggunakan kata2. Semua itu memberi pengaruh besar dalam bersikap saat menghadapi permasalahan.

Setiap manusia hidup dalam dunianya masing-masing, pemahaman ini hendaknya menjadi bekal yang berharga bagi kita untuk lebih bijak melihat diri sendiri dan orang lain. Jadi kalau anda ingin merayu sesorang anda musti tahu dunianya sehingga tahu apa yang harus anda lakukan untuk menyenangkannya. Demikian juga kalau anda melihat ada orang marah pada anda, anda musti berusaha mengerti dan mencari tahu ada apa dalam dunia pikiran dan perasaannya, bukan ikut-ikut jadi marah.

Referensi:
-          James, Tad. The accelerated NLP Master Prac Training, New Port Beach, 2004

Sabtu, 12 Mei 2012

Lesson #4.1. The Map Is Not The Territory

Bapak general semantics, Alfred Korzybski menyatakan, "Sebuah peta bukanlah wilayah yang sesungguhnya, tetapi jika benar, ia memiliki struktur yang mirip dengan wilayah itu, sehingga menjadi bermanfaat bagi pemiliknya", sebagai bahan rujukan untuk pengambilan keputusan. Peta yang dimaksud adalah persepsi pikiran kita dalam memandang dunia, dalam memandang sesuatu atau kejadian, dalam diskusi ini selanjutnya saya sebut sebagai Map.

Tidak ada satupun orang lain memiliki Map yang persis sama dengan Map kita meskipun melihat mendengar dan mengalami peristiwa yang sama. Apakah ini berarti bahwa persepsi kita tentang realitas adalah bukan realitas itu sendiri? Ya, persepsi kita tentang realitas sesungguhnya kita sendiri yang membuatnya menurut versi kita. Semua manusia memiliki struktur neurologis yang sama, namun karena Map yang berbeda itu maka fungsinya menjadi berbeda dalam mengendalikan hidup kita masing-masing. Ketika persepsi kita keliru maka tindakan kita jadi ikut keliru, dan ketika persepsi kita hebat maka tindakan kitapun jadi hebat. Dahsyat bukan? 

Map kita terbentuk dari pengumpulan data melalui lima indera.  Lima indera itu membawa hal-hal tertentu dari dunia luar sesuai dengan perhatian kita, dengan melalui proses neurologis atau filter, yang kemudian membentuk nilai-nilai, keyakinan, kriteria (aturan), dan kemampuan. Meskipun sering dilakukan secara sadar, namun sebagian besar waktu kita panca indera itu beroperasi di luar kesadaran, dan yang penting, kita sering tidak menyadari bahwa panca indera itu dapat diubah dan bisa kita kendalikan sehingga memperoleh informasi yang lebih berkualitas untuk hidup kita yang lebih berkualitas.

Ketika kita menuangkan cairan melalui sebuah saringan tidak semua benda lolos, mungkin ada bagian yang tertinggal. Demikian juga, informasi "yang mengalir masuk" dari dunia luar, adalah output dari saringan, ada yang kita hapus (informasi 'tidak dibutuhkan'), kita ubah (gambar jerapah dengan kepala gajah), dan kita generalisasi (semua orang berambut merah memiliki emosi berapi-api). Filter itu bekerja menghapus, mengubah, dan meng-generalisasi.

Generalisasi ini dasar untuk pembentukan keyakinan kita. Apa yang kita percaya tentang dunia membentuk bagaimana cara kita berinteraksi di dalamnya. Sering terjadi, keyakinan itu membatasi (memagari) kita, kadang menguntungkan tetapi kadang juga merugikan. Setelah mengenal presuposisi tentang Map ini kita menjadi perlu sering klarifikasi atas apa yang sudah kita yakini selama ini untuk memperbaiki kualitas hidup kita di masa mendatang. Karena tidak setiap apa yang kita yakini tentang orang lain, tentang diri kita sendiri adalah benar. Seperti misalnya apakah kita mampu atau tidak, apakah kita pandai, apakah kita bisa berhasil, apakah aku cantik atau tidak, apakah aku pantas atau tidak, apakah kita dibencinya atau dicintainya.

Ini hal mendasar dalam NLP khususnya komunikasi. Belajar mengenali struktur Map orang lain memungkinkan kita untuk "melihat dunia melalui mata mereka" kemudian memahaminya sehingga berhubungan dengan orang lain dengan rasa hormat. 

The Map is not the territory, presuposisi ini membantu kita untuk menumbuhkan kepercayaan dari pihak lain, kehangatan dan pengertian dengan teman, bahkan orang asing, dengan belajar apa yang perlu diketahui ketika berkomunikasi, dan mencegah kita dari memaksakan diri dari Map kita atas orang-orang di sekitar kita. Ketika kita ingin meyakinkan orang lain, yang diperlukan adalah memberitahunya bahwa ada alternatif lain tentang cara memandang sebuah permasalahan yang mungkin bermanfaat sebagai pengkayaan solusi dalam mengambil keputusan.

Disarikan dan dituangkan secara bebas dari Rex Steven Sikes from Idea Seminars, USA, 2012

Lesson #4. NLP PRESUPPOSITIONS

Presuposisi adalah prinsip-prinsip dasar dari NLP. meskipun prinsip-prinsip itu didak diklaim sebagai sebuah kebenaran yang mutlak (maka disebut presuposisi atau asumsi yang dianggap benar), prinsip-prinsip itu sedemikian diyakini sehingga menjadi paradigma, sehingga para praktisi kemudian bertindak atas dasar prinsip-prinsip itu.

Setiap pakar punya seperangkat presuposisi  yang berbeda jumlahnya, namun dari semua pakar ada sejumlah presuposisi yang disepakati. O’Connor menyebutkan 13 presupposisi penting dalam bukunya NLP Work Book. Horton (NF NLP) menulis 10 presuposisi penting dalam materi sertifikasi praktisioner. Dan Neo NLP mencantumkan ada 15 presupposisi penting.

Di bawah ini adalah 15 presuposisi yang dicantumkan oleh Neo NLP.
  1. The Map is Not The Territory
  2. Everyone Lives in Their Own Unique Model of The World
  3. Experience Has a Structure
  4. Mind and Body Are One System
  5. The Meaning of a Communication is The Response You Get
  6. You Cannot not Communicate
  7. Underlying Every Behavior is a Positive Intention
  8. People Make The Best Choices Available To Them
  9. There’s No Such Thing As Failure Only Feedback
  10.  If What You Are Doing isn’t Working, Do Something Else
  11.  We Have The Resources Within Us To Achieve What We Want
  12.  If One Person Can Do Something, Anyone Can Learn To Do It
  13.  People Work Perfectly
  14.  In Any System The Person With The Most Flexibility Will Control The System
  15.  Choice is Better Than No Choice

Selanjutnya akan kita diskusikan satu-persatu dalam artikel-artikel berikut.

References:
- NNLP Practitione, 2012
- NFNLP, 2009
- O’Connor, Joseph. NLP Workbook, 2001